Tradisi Malam Nisfu Sya’ban, dari Salat Taubat hingga Makan Bersama
PONTIANAK – Malam Nisfu Sya’ban menyambut Ramadan 2023, diartikan sebagai malam pertengahan pada bulan Sya’ban dalam kalender Islam. Malam pertengahan ini terjadi pada 15 Sya’ban atau bertepatan Rabu (8 Maret 2023). Dalam kalender Islam, hari dimulai sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib). Sementara peringatan malam Nisfu Sya’ban ini diperingati mulai Selasa (7/3) malam dalam kalender Romawi.
Ustadz Miftah, salah satu ulama di Kalbar mengatakan bahwa malam Nisfu Sya’ban merupakan salah satu malam yang istimewa, selain malam Lailatul Qadar.
“Pada malam Nisfu Sya’ban, umat Islam dianjurkan memperbanyak amal saleh dan memohon ampun kepada Allah SWT,” katanya menjelaskan.
Di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat sendiri memang banyak tradisi yang biasa dilakukan masyarakat muslim, ketika memperingati malam Nisfu Sya’ban. Pada malam yang diberkahi tersebut, biasanya warga berzikir, membaca Alquran, shalat Hajat, Tahajud, shalat Witir, shalat Taubat, tahlil, makan bersama, hingga nyekar ke makam orang tua atau leluhur sudah menjadi semacam tradisi.
Di Kubu Raya, biasanya salah satu sanak keluarga yang mampu memiliki tradisi ruwah pada malam Nisfu Sya’ban. Mereka biasanya mengajak sanak saudara, tetangga, dan ustaz berkumpul di salah satu rumah. Kemudian, mendoakan sanak saudara dan kerabat yang telah meninggal dunia agar diampuni segala dosa-dosanya semasa hidup.
Ada juga kebiasaan tidak hilang yakni masyarakat setempat meramaikan malam Nisfu Sya’ban dengan membawa botol-botol diisi aneka air minum. Dari air mineral, air dalam cerek, bejana dan lainnya. Biasanya dikumpulkan selanjutnya dibacakan doa-doa untuk diambil berkahnya.
“Itu biasa dilakukan seusai menunaikan shalat Magrib berjamaah dan dilanjutkan membaca surah Yasin sebanyak tiga kali dan surah lain. Setelah selesai, barulah dibawa pulang masyarakat,” ujarnya.
Sementara, Gus Aab, salah satu pengasuh ponpes di Jawa menambahkan selama tradisi pada malam Nisfu Sya’ban tidak dilakukan dengan hal mungkarat, sah-sah saja dilakukan. Menurutnya, tradisi itu asalnya mubah.
“Jadi, isi dari tradisi itu kan tergantung dari apa isinya. Kalau isinya itu adalah sesuatu kebajikan maka akan bernilai pahala,” terangnya.
Dia menambahkan, bukan tradisinya yang perlu dilihat, melainkan isi dalam tradisi tersebut.
“Jadi, kalau diisi dengan kemungkaran, nanti akan menjadi kemaksiatan. Jadi, itu bukan karena wadahnya, melainkan karena isinya. Sebab tradisi itu netral,” pungkasnya. (den)